KECURIGAAN banyak orang terhadap ideologi wahabi yang diduga menjadi induk semang atas tindak kekerasan atau teror atas nama agama di belahan dunia mendapat perhatian sejumlah kalangan, baik dari agamawan, aktivis sosial, dan bahkan pengamat politik.
Gerakan wahabi sebenarnya merupakan langgam lawas, tetapi pemunculannya selalu aktual, karena dikait-kaitkan dengan setiap tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Tragedi 11 September 2001 yang meluluhlantahkan WTC, gedung kebanggaan negeri Paman Sam, sepertinya menjadi ”perantara positif” sekaligus ”hikmah”. Pascaperistiwa September kelabu itu, sejumlah analisis kritis membuka tirai ideologi wahhabi yang ternyata mempunyai andil dalam mendoktrinisasi kelompok Islam tertentu yang secara sosiologis dikategorikan ”keras” dan ”ekstrem”.
Beberapa hasil penelitian menemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup ke sekolah umum, yaitu SMU. Siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan yang diincar oleh pendukung ideology radikalisme. Targetnya bahkan menguasai organisasi siswa intra sekolah (OSIS), paling tidak bagian rohani Islam (ROHIS).
Tampaknya jaringan ini telah mengakar dan menyebar di berbagai sekolah, sehingga perlu dikaji dan diresponi secara serius, baik oleh pihak sekolah, pemerintah dan orangtua. Kita tentu senang anak-anak itu belajar agama. Tetapi yang mesti diwaspadai adalah ketika ada penyebar ideology radikal yang kemudian memanfaatkan symbol, sentimen dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash) pada mereka yang masih pemula belajar agama untuk tujuan yang justeru merusak agama dan menimbulkan konflik.
Ada beberapa ciri dari gerakan ini yang perlu diperhatikan oleh guru dan orangtua. Pertama, para tutor penyebar ideologi kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan. Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemeritahan taghut, syaitan, karena tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai dasarnya. Pemerintahan manapun dan siapapun yang tidak berpegang pada Al-Qur’an berarti melawan Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan.
Kedua, para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera. Kalaupun melakukan, itu semata hanya untuk mencari selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya dan etika berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama.
Ketiga, ikatan emosional pada ustadz, senior dan kelompoknya lebih kuat dari ikatan keluarga dan almamaternya. Keempat, kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat tertutup dengan menggunakan lorong dan sudut-sudut sekolah sehingga terkesan sedang studi kelompok. Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat.
Kelima, bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah dikenakan membayar uang sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lalukan. Jika merasa besar dosanya, maka semakin besar pula uang penebusannya.
Keenam, ada di antara mereka yang mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai dengan ajaran Islam serta bersikap sinis terhadap yang lain.
Ke tujuh, umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasiq dan kafir sebelum melakukan hjrah bergabung dengan mereka.
Ke delapan, mereka enggan dan menolak mendengarkan ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an masih dangkal, namun mereka merasa paling benar keyakinan agamanya sehingga meremehkan dan bahkan membenci ustad di luar kelompoknya.
Kesembilan, di antara mereka itu ada yang kemudian keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustadz dan intelektual di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi.
JUGA MENYUSUP KE KAMPUS-KAMPUS
Mengingat jaringan Islam yang tergolong garis keras (hardliners) menyebar di berbagai SMU di kota-kota Indonesia, maka sangat logis kalau pada urutannya mereka juga masuk ke ranah perguruan tinggi. Bahkan, menurut beberapa sumber, alumni yang sudah duduk sebagai mahasiswa selalu aktif berkunjung ke almamaternya untuk membina adik-adiknya yang masih di SMU. Ketika adik-adiknya masuk ke Perguruan Tinggi, para seniornya inilah yang membantu beradabtasi di kampus sambil memperluas jaringannya.
Beberapa sumber menyebutkan, kampus adalah tempat yang strategis dan leluasa untuk menyebarkan gagasan radikalisme ini dengan alasan di kampuslah kebebasan berpendapat, berdiskusi dan berkelompok dijamin. Kalau di tingkat SMU pihak sekolah dan guru sesungguhnya masih mudah intervensi, tidaklah demikian halnya di kampus. Mahasiswa memiliki kebebasan karena jauh dari orangtua dan dosen pun tidak akan mencampuri urusan pribadinya.
Namun karena interaksi intelektual berlangsung intensif, deradikalisasi di kampus lebih mudah dilakukan dengan menerapkan materi dan metode yang tepat. Penguatan mata kuliah Civic Education dan Pengantar Studi Islam secara konprehensif dan kritis oleh Professor ahli mestinya dapat mencairkan faham keislaman yang ekslusif dan sempit serta merasa paling benar.
Sejauh ini kelompok-kelompok radikal mengindikasikan adanya hubungan famili dan persahabatan yang terbina di luar wilayah sekolah dan kampus. Yang patut diselidiki juga menyangkut dana. Para aktivis radikalis itu tidak saja bersedia mengurbankan tenaga dan pikiran, namun rela tanpa di bayar untuk memberikan ceramah keliling. Lalu kalau berbagai kegiatan itu memerlukan dana, diri mana sumbernya? Ini juga suatu teka-teki.
Disinyalir memang ada beberapa organisasi keagamaan yang secara aspiratif dekat atau memiliki titik singgung dengan gerakan garis keras ini. Mereka bertemu dalam hal tidak setia membela NKRI dan Pancasila sebagai ideologi serta pemersatu bangsa. Mereka tidak bisa menghayati dan menghargai bahwa Islam memiliki surplus kemerdekaan dan kebebasan di negeri ini. Di Indonesia ini ada Parpol Islam, Bank Syariah, UU Zakat dan Haji dan sekian fasilitas yang diberikan pemerintah untuk pengembangan agama. Kalau pun umat Islam tidak maju atau merasa kalah, lakukanlah kritik diri, tetapi jangan rumah bangsa ini dimusuhi dan dihancurkan karena penghuni terbanyak yang akan merugi juga umat Islam.
Gerakan wahhabi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia muslim.
Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan wahhabi, sangat mujur ketika pada abad ke-20 memperoleh kekayaan minyak luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham wahhabisme di dunia Islam dan wilayah-wilayah lain. Jika kedua faktor itu tidak ada, wahhabisme mungkin hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marginal dan berumur pendek.
Kita berharap baik Mendiknas maupun Menag menaruh perhaian serius terhadap gerakan radikalisasi keagamaan di kalangan pelajar.
di ranah ini tidak jarang mereka (kelompok wahhabi) mengafirkan umat Islam di luar kelompoknya, seperti tuduhan takfir (pengafiran) kepada umat Islam salaf dan khalafyang ber-tawassul dengan para nabi, sahabat, tabi’in, dan wali-wali Allah yang saleh (Jld III, hlm 129). Ini sekaligus menjadi salah satu ciri seseorang sebagai anggota kelompok wahhabi.
Karena itu, ajaran dan doktrin-doktrin wahhabi sungguh bertentangan dengan keyakinan mayoritas muslim dunia (Sunni). Memang, sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok wahhabi tidak termasuk bagian dari ahlu sunnah wal jamaah. Hal itu karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam Muhammad bin Abdul Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima mayoritas kaum muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar